SEJARAH MINANGKABAU
Asal-usulnya menurut Tambo Alam Minangkabau
Tiga
anak dari Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia
(Macedonia) iaitu Maharajo Alif, Maharajo Japang dan Maharajo Dirajo
berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga
mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut.
Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas-
berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu
lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya
kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima,
iaitu karena telah berhasil menemukannya. Mereka adik beradik lalu
berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja
di Bizantium, sedang Maharajo Japang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja
di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang
perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh
melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini
sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan
berkampung disekitarnya. Mulanya wujud Teratak lalu berkembang menjadi Dusun lalu jadi Nagari lalu jadilah Koto
dan akhirnya menjadi Luhak. Daerah Minangkabau yang asal adalah
disekitar Merapi, Singgalang, Tandikat dan Saga. Semuanya terbagi atas 3
Luhak atau Luhak Nan Tigo. Luhak ini membawahi daerah Rantau. Jadi ada 3 luhak dengan 3 rantau :
1.Luhak AGAM berpusat di BUKITTINGGI dengan Rantau PASAMAN
2.Luhak TANAHDATAR berpusat di BATUSANGKAR dengan Rantau SOLOK
3.Luhak LIMAPULUH KOTA berpusat di PAYA KUMBUH dengan Rantau KAMPAR
Batas Alam Minangkabau menurut Tambo :
“Dari Riak nan Badabua, Siluluak Punai Maif,
Sirangkak nan Badangkuang, Buayo Putiah Daguak,
Taratak Aie Hitam, Sikilang Aie Bangih , Hingga Durian Ditakuak Rajo”
“Dari Riak nan Berdebur, Siluluk Punai Maif,
Sirangkak nan Berdengkung, Buaya Putih Daguk,
Teratak Air Hitam, Sikilang Air Bangis , Hingga Durian Ditekuk Raja”
Tafsiran
dari ‘Riak nan Berdebur’ adalah daerah Pesisir Pantai Barat iaitu
wilayah dari Padang hingga Bengkulu; sedangkan ‘Teratak Air Hitam’
adalah Rantau Timur sekitar Kampar dan Kuantan (sekarang di Riau). Ini
sesuai penjelasan bahwa selain 3 Luhak dan 3 Rantau diatas yang disebut
‘Darek” atau “Darat”, Minangkabau mempunyai daerah Rantau luar iaitu
Rantau Pesisir Barat dan Rantau Timur dengan wilayah :
1.RANTAU
PESISIR BARAT (Pasisie Barek): Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman,
Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Kerinci (kini masuk Jambi)
dan Muko-muko (Bengkulu).
2.RANTAU
TIMUR : Daerah hilir sungai-sungai besar Rokan, Siak, Tapung, Kampar
dan Inderagiri (Kuantan), kesemuanya kini masuk di Riau.
Asal-usulnya menurut Sejarawan
Senarai kerajaan di Sumatra yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Minangkabau mulai zaman Hindu-Budha Abad 7 adalah :
1.KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Berdiri sekitar Abad 6 – awal 7 M
2.KERAJAAN
SRIWIJAYA TUA terletak di Muara Sabak (kini masuk masuk wilayah Tanjung
Jabung, Jambi). Berdiri sekitar tengah Abad 7 – awal 8 M
3.KERAJAAN SRIWIJAYA di Palembang, Sum. Selatan. Akhir abad 7 – 11 M
4.KESULTANAN KUNTU terletak di Kampar, sekitar Abad 14 M
5.KERAJAAN
MALAYU (Melayu Muda) atau DHARMASRAYA terletak di Muara Jambi, abad
12-14 M. Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur
menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk
dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang
pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan
sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan
oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun
1347
PAGARUYUNG (1347-1809)
Adityawarman meninggalkan banyak
prasasti –terbanyak bahkan jika dibanding periode Raja-raja Sri Wijaya.
Ia menyebut dirinya sebagai ‘Kanakamedinindra” (Penguasa Tanah Emas).
Dan memang Kerajaan Pagaruyung menguasai perdagangan lada/rempah dan
emas terutama di Rantau Timur dan dijual ke daerah luar melalui pesisir
barat, dimana para pedagang datang dari Aceh Tamil, Gujerat dan Parsi
untuk dijual di pasaran dunia. Secara berangsur-angsur kerajaan
Pagaruyung mulai mundur kira-kira pada abad 15, sehingga peranan daerah
Rantau Pesisir yang berupa kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra
justru semakin berkembang. Pada saat inilah Aceh yang tengah berada pada
puncaknya masuk sekitar tahun tahun 1640 disertai masuknya ajaran
Islam. Pada akhir abad 16, Pagaruyung sudah tidak utuh lagi, kekuasaan
raja tidak mutlak.
Yang Dipertuan Pagaruyung sebagai
Raja Alam membahagi kekuasaannya pada 2 Raja yang lain iaitu Raja Adat
yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Kesatuan tiga
raja disebut “Rajo Nan Tigo Selo”. Sedangkan yang menjalankan kekuasaan
Lembaga eksekutif -disebut “Baca Ampek (Empat) Balai”- terdiri 4 Datuk
dengan 1 Datuk penguat iaitu :
1.Datuk Bandaharo (Menteri Utama & Keuangan) di Sungai Tarab
2.Tuan Indomo (Menteri Adat) di Suruaso
3.Tuan Makhdum (Menteri Kerajaan Wilayah Rantau) di Sumanik
4.Tuan Kadi (Menteri Agama) di Padang Ganting, diperkuat oleh
5.Tuan Gadang (Menteri Keamanan & Pertahanan) di Batipuh
Semua
berada di Luhak Tanah Datar. Pada abad 17-18, Siak di Rantau Timur mulai
melepaskan diri dan mengembangkan kekuasaannya ke utara hingga ke
Rokan, Panai, Bilah, Asahan dan Tamiang. Hal ini dimungkinkan oleh
kuatnya kerajaan Siak dalam perdagangan dengan Melaka dan Belanda,
disamping mulai merosotnya Aceh sesudah Sultan Iskandar Muda mangkat di
tahun 1639.
Perluasan
daerah rantau kemudian menyeberangi Selat Melaka sehingga jadilah
Negeri Sembilan di Semenanjung. Rantau Pesisir Barat yang telah dikuasai
Aceh tidak lagi setia kepada Pagaruyung dimana gerakan pemurnian Islam
berpusat di Bonjol kelak akan muncul. Rantau Daerah Timur bagaimanapun
masih tetap patuh dan setia. Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pergi
ke rantau-rantau ini untuk mengumpul upeti (ufti) 3 kali setahun. Ini
berlangsung sampai dengan kebangkitan pemurnian Islam yang memecah
Minang menjadi 2 iaitu Kaum Putih/Paderi (Pemurnian Islam) dan Kaum
Hitam (Adat), mereka terlibat pertempuran dalam Perang Paderi. 2 Luhak
iaitu Agam dan Limapuluh Kota telah tunduk kepada Kaum Putih, tetapi
Luhak Tanah Datar bertahan hingga dihancurkan oleh pasukan Paderi dari
Tuanku Lelo pada tahun 1809. Munculnya Belanda ke Ranah Minang akhirnya
justru menjadi pemenang atas situasi tadi, setelah Pasukan Paderi yang
menang Perang Paderi melawan Kaum Adat dihancurkan Belanda.
Bagaimana
pun selanjutnya Islam tetap menjadi pedoman Adat Minangkabau, dimana
setiap Adat yang tidak sesuai dengan Syarak (Hukum Islam) akan dibuang.
Sehingga jadilah pedoman berzaman yang berbunyi “Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah”. Adat haruslah bersendi atau tunduk kepada
Hukum Allah.
SUMBER :
-Sejarah Minangkabau
-Dasar Falsafah Adat Minangkabau
|
Rumah Adat Minang Kabau |
ASAL NAMA MINANG KABAU
Perkataan
Minangkabau merupakan gabungan dua perkataan, iaitu,
minang yang bermaksud "menang" dan
kabau
untuk "kerbau". Menurut lagenda, nama ini diperolehi daripada peristiwa
perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari
Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri
mereka daripada berperang, rakyat Minangkabau mencadangkan pertandingan
adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan menonjolkan
seekor kerbau yang besar dan ganas. Rakyat setempat pula hanya
menonjolkan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan tanduk yang
telah ditajamkan. Semasa peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan
tidak sengaja merodok tanduknya di perut kerbau itu kerana ingin mencari
puting susu untuk meghilangkan kelaparannya. Kerbau yang ganas itu mati
dan rakyat tempatan berjaya menyelesaikan pergelutan tanah dengan cara
yang aman.
Bumbung rumah adat Minangkabau yang dipanggil
Rumah Gadang,
(Rumah Besar) memiliki rupa bentuk yang unik kerana ia menyerupai
tanduk kerbau.Terdapat juga prinsip-prinsip tertentu dalam pembinaan
rumah adat Minangkabau
|
Minang Kabau |
CERITA LENGKAP ASAL USUL NAMA MINANG KABAU
Sejarah
bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting
di Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja,
pernah memerintah di Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau.
Adityawarman adalah seoranga Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi
alam Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang
memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak
pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi
ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan
dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat,
akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya
masyarakat Sumatera Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut
berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau
yang sebelumnya didominasi agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di
Sumatera Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah
kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari
kesultanan Aceh.
Melirik
sejarah singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di
kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut
awalnya merupakan tanah lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang
bahwa Kerajaan Pagaruyung akan di serang kerajaan Majapahit dari
Provinsi Jawa maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah
pihak. Kerbau tersebut mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena
kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul kata manang
kabau yang selanjutnya di jadikan nama Nagari atau desa tersebut. Upaya
penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk
Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) dimana atapnya
mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut
didirikan di batas tempat bertemunya pasukan Majapahit yang di jamu
dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat saat itu
umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan
mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa pernyataan timbul bahwa
alat transportasi yang digunakan untuk menelusuri dataran tinggi
Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena agama yang
dipercaya pada waktu itu di ajarkan untuk menyayangi binatang gajah,
kerbau, dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau
sebagai masyarakat dengan adu kerbau.
Bukti
arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh
Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang
Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana
transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan
berlayar melalui rute ini dan sebagian diantaranya menetap dan
mengembangkan peradabannya di sekitar Lima puluh Koto tersebut.
Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan
kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang.
Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan
persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.
Jatuhnya
kerajaan Pagaruyung dan terlibatnya negara Belanda di Perang Padri,
menjadikan daerah pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax
Nederlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian daerah Minangkabau
di bagi menjadi Residentie Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden.
Pada zaman VOC, Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust merupakan sebutan
untuk wilayah pesisir barat Sumatera. Hingga abad ke-18, Provinsi
Sumatera Barat semakin terkena pengaruh politik dan ekonomi akhirnya
kawasan ini mencakup daerah pantai barat Sumatera. Kemudian mengikuti
perkembangan administratif pemerintahan Belanda, kawasan ini masuk dalam
Pemerintahan Sumatra's Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan
Singkil dan Tapanuli. Pada 1905, wilayah Singkil dialihkan ke Residen
Aceh, dan Tapanuli dijadikan residen Tapanuli. Memasuki tahun 1914,
pemerintahan Sumatera’s Westkust statusnya diturunkan menjadi Residen
Sumatera’s Westkust. Kemudian wilayah Mentawai di tambahkan di Samudera
Hindia menjadi bagian dari Residen Sumatera. 21 tahun berikutnya
tepatnya 1935 kawasan Kerinci dimasukkan juga ke bagian Residen
Sumatera. Setelah perpecahan pemerintahan Sumatra’s Ootkust, kedua
wilayah yaitu Kuantan Singingi dan Rokan Hulu dimasukkan ke Residen
Riouw, dan dengan waktu yang hampir sama dibentuk Residen Djambi.
Selanjutnya
masa pendudukan Jepang di kawan ini, Residen Sumatera’s Westkust
berganti nama dengan bahasa Jepang yaitu Sumatora Nishi Kaigan Shu.
Karena alasan strategi militer, wilayah Kampar akhirnya dikeluarkan dari
Residen Sumatera’s Westkust atau Sumatora Nishi Kaigan Shu kemudian
digabung ke wilayah Rhio Shu. Sampai awal kemerdekaan negara Indonesia
tahun 1945, daerah Sumatera Barat digabungkan dalam Provinsi
Sumatera yang berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Provinsi Sumatera
mengalami perpecahan menjadi 3 kawasan, yakni provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat,
Jambi dan Riau.
Sumber:
Cerita Rakyat